Negeri Kain Sejuta Batik
Jumat, 09 Desember 2011
, Posted by Fashion at 20.36
Negeri Kain Sejuta Batik
Di balik keindahannya, kain batik memiliki kisah tersendiri, kisah tentang kreativitas di atas selembar kain. Tentang dunia ide yang hidup, jauh sebelum nama Indonesia dikenal. Tentang peninggalan leluhur yang tak pernah tergilas roda zaman edan. Kreativitas batik kini menjadi karya seni tekstil klasik yang belakangan marak dalam ajang parade busana.
Awal mulanya kata batik terdiri dari Amba dan Nitik. Dalam Bahasa Jawa, amba berarti menulis sedangkan nitik memiliki makna memberi titik. Dari dua kata sederhana ini jejaknya terekam di baju para tokoh, pembesar-pembesar di tanah Jawa, khususnya pada era kedigjayaan Majapahit.
Bahkan, ukiran kain arca Prajna-Paramita, dewi kebijaksanaan agama Buddha yang ditemukan di Jawa Timur terdapat pola sulur tumbuhan dan kembang yang rumit mirip motif batik tradisional Jawa. Pembuatan ukiran kain arca itu diperkirakan dari abad ke-13. Batik pun kian mewabah sejak abad ke-17 hingga terus berkembang sampai kini.
Kepopuleran batik Indonesia kian mendunia saat pemimpin-pemimpin negara mengenakan batik dalam konferensi bidang ekonomi se-Asia Pasifik atau APEC ke-15 tahun 1994 silam.
Salah satu kepala negara yang gemar berbatik adalah tokoh Afrika Selatan Nelson Mandela. Koleksi batiknya sebagian besar khas Indonesia. Kebiasaan Mandela berbatik menular ke rakyat Afrika. Tapi di sana namanya bukan batik, melainkan madiba's shirt alias pakaian Mandela. Madiba adalah nama populer untuk Mandela.
Batik memang tak cuma ditemui di Indonesia, selain Afrika ada pula di Malaysia, Jepang, Cina, India, Jerman, dan Belanda. Seni pewarnaan kain adalah tradisi kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal sejak abad keempat sebelum Masehi.
Kendati demikian, Batik Nusantara memiliki ciri khas. Ada beberapa motif klasik yang tak mungkin ditemui di negara mana pun seperti Kawung dan Sido Mukti. Penggunaan canting atau wadah untuk cairan batik tulis juga membuat gambar batik Indonesia lebih halus dan rapi.
Seorang tokoh Batik Josephine Komara yang akrab disapa Obin mengaku lahir untuk mencintai kain yang membuatnya tenggelam ke dalam lembar demi lembar tenunan benang. Ia pun menjadikan batik sebagai bagian dari profesinya tukang kain yang tanpa sadar telah menciptakan dunia kecil yang liar bernama Dunia Obin.
Di bawah bendera Bin House, rumah kain yang didirikan 1986 silam membuat Obin tumbuh dan berkembang tanpa bisa dihentikan. Baginya, ide tak pernah padam selama kain masih menjadi bagian penutup tubuh yang telanjang. Perhatian besar sang ibu, Hashima Komara, terhadap kain membuat Obin kian mengagumi keanekaragaman detil. Perempuan 56 tahun ini belajar banyak dari ratusan kain antik dari seluruh Indonesia yang ia kumpulkan sejak tahun 70-an.
Hasilnya, penguasaan teknik yang imajinatif, buah proses belajar panjang yang memakan waktu puluhan tahun. Kedekatan Obin terhadap batik diawali ketika tradisi membatik di atas kain tenun sudah tak ada lagi yang membuat. Tenun white on white yang percobaannya memakan waktu sepuluh tahun pun ia lewati dengan sabar.
Karya tradisionalnya yang inovatif dan fenomenal adalah membatik di atas kain wool jenis khasmir yang proses uji cobanya memakan waktu sekitar empat belas tahun. Semuanya dikerjakan secara manual dengan teknik mencanting tradisional yang diperkaya beragam ide di luar kotak.
Atas nama cinta, Obin adalah cermin totalitas dalam berkarya. Batik hanyalah sebagian kecil dari dirinya, cintanya yang tak terbendung terhadap kain melahirkan seni kreatif eksklusif dan personal. Namun, tak pernah sedikit pun ia merobek dan mengabaikan kain panjang dan besar bernama Indonesia.
Jawa adalah batik, tanah yang kaya motif di atas lembar-lembar kain tenun. Tapi Indonesia tak cuma Jawa karena ketika gairah membatik membuncah, sejumlah daerah pun terlecut. Di Papua, misalnya, dari tangan Jimmy Hendrick Afaar, lewat rumah batik Port Numbay, seni kreasi pun tumbuh sejak empat tahun silam di pulau paling Timur Indonesia itu.
Dengan mengusung keragaman alam, budaya, serta cerita rakyat, Papua melalui tangan Jimmy sudah mengoleksi sekitar 200 motif. Banyaknya motif ini karena setiap suku yang ada di Papua memiliki budaya dan kebiasaan berbeda. Nama motif batik ini disesuaikan dengan nama suku seperti Batik Kamoro, Amugme, Honay, Asmat, Sentani, Kayu Pulau atau Griminawa. Ciri khas lain Batik Papua adalah penggunaan warna-warna terang.
Jimmy putra asli Papua ini memang seorang profesional desainer. Tapi batik membawa dirinya untuk belajar ke Pekalongan. Ia ingin mengangkat Batik Papua agar tak punah lantaran tak dikenal. Agar produknya bisa bersaing, Jimmy tak segan mendatangkan pembatik dari Yogyakarta untuk melatih para pekerjanya.
Sementara di Gorontalo, Sulawesi Utara, memiliki ciri khas batik tersendiri. Dulu batik asal provinsi ini tak dikenal, tapi di tangan Yuku Moko, batik Gorontalo mulai populer hingga ke mancanegara. Sepuluh tahun malang melintang di dunia batik, Yuku berhasil membawa nama Gorontalo hingga melampaui lintas negara. Ia pun bergerak bersama masyarakat di Kampung Boroko. Mantan karyawan bank ini mengusung batik dalam versi berbeda. Tak seperti di Jawa, Batik Gorontalo yang dipopulerkannya tidak mengenal teknik canting tapi melukis di atas kain.
Keduanya kini bicara, bersisian dengan Jawa yang lebih dulu menciptakan batik yang kini menjadi bagian kekayaan Tanah Air nan abadi. (ADI/Vin)
Currently have 0 komentar: